Senin, 30 November 2009

Hindari Suara Dobel Nrithik dan Nyeret



Searah keberhasilan eksploitasi olah ternak burung perkutut, ikon suara perkutut bergeser. Awalnya, penghobi lebih menekankan, kualitas suara perkutut hanya pada pola dasar “engkel atau genep” (empat ketukan). Sejak paro tahun 90-an, ikon suara perkutut bergeser ke pola dasar suara “dobel” (enam ketukan) dan “dobel plus” (delapan ketukan).

Ikon ini, dalam praktinya, lebih dipengaruhi tren pasar.”Rumus ekonomi, di sektor apapun tren pasar mampu merubah pakem yang sudah ada,” ujar Lamidi, ketua bidang penjurian P3SI Korwil Jatim.

Di era kejayaan “Susi Susanti” dan “Arung Samudra” serta “Pele”, tahun 80-an, tren pasar perkutut masih didominasi pola dasar suara “engkel” dan “satu setengah”.Masuk awal tahu 90-an, ketek dobel mulai digemari.

Kemunculan “Leo Star” perkutut debutan Leo Bird Farm, Tasikmalaya, pelahan tapi pasti menggeser dominasi pola dasar suara engkel dan satu setengah. “Puncaknya, ketika “Misteri Bahari” (burung perkutut milik John Suwandi, Cirebon,red), merajai konkurs perkutut nasional,” jelas Lamidi.

Bagaimana sosok pola dasar suara perkutut dobel dan dobel plus? Cermati bunyi anggungan perkutut Anda. Kemudian hitung dengan menekuk jari-jari tangan. Jika perkutut Anda mampu berbunyi enam ketukan atau enam tekukan jari, berarti perkutut itu masuk dalam katagori dobel. Yakni, satu ketukan suara angkatan, empat ketukan suara tengah atau ketek dan satu ketukan suara ujung.

Contoh burung berpola dasar suara dobel adalah jika perkutut itu mampu mengeluarkan suara sebagai berikut: hur…ke-tek…ke-tek…kung, atau klaa…ke-tek…ke-tek…kung, atau juga waiii…ke-tek…ketek…kung.

Meski begitu, perlu diingat, tidak semua perkutut dengan pola dasar suara dobel masuk dalam kriteria berkualitas lomba. Survey menunjukkan, banyak perkutut berpola dasar suara dobel justru berkualitas jelek. Penyebabnya, lantaran bentukan suara ketek tersebut, tidak betekanan, lengkap dan jelas.

Dalam praktik, ada beberapa jenis pola dasar perkutut bersuara dobel. Antara lain, dobel “nrithik”. Istilah ini diberikan pada perkutut yang memiliki ketek dobel, tapi intonasinya cepat, kurang jelas dan tidak lengkap.

Kedua dobel “nyeret”, artinya suara tengahnya lebih kencang lagi, hingga tak mampu membentuk ketukan. Ketiga, dobel jalan, yakni, bentukan suara tengahnya agak lamban tanpi kurang bertekanan dan jelas.

Keempat dobel “lelah”. Yakni, bersuara tengah dengan intonasi tetap, senggang, bertekanan, lengkap dan jelas. Misalnya, jika ketukan suara tengah pertama berintonasi satu detik, bentukan suara tengah kedua juga harus satu detik. Begitu pula, tenggang waktu intonasi dari suara angkatan ke ketek dan dari ketek ke suara ujung.

Sampai di sini, coba sekarang cermati suara perkutut Anda. Hitung suara yang terbentuk dengan tekukan jari tangan, dan cermati pula tenggang waktu intonasi yang dibutuhkan dalam setiap ketukan. Jika, tenggang waktu tekukan itu sama, dan memebentuk irama yang stabil, tidak nritik, tidak nyeret dan tidak jalan, maka, perkkutut Anda masuk dalam katagori bekualitas lomba.

Selanjutnya, pola dasar suara perkutut ketek dobel plus. Mengingat, bahwa pola dasar perkutut dobel plus ini merupakan ikon tertinggi kualitas perkutut era kini, maka pembahasannya pun, harus detail dan dalam waktu dan ruang tersendiri.(bersambung) andi casiyem sudin

Suara Tengah Tentukan Band Image Perkutut



Tingkat kesusitan tertinggi dalam apresisasi seni suara burung perkutut berada pada apresiasi suara tengah. Ironisnya, ikon perkutut, justru ditentukan oleh suara tengahnya. Atau keteknya.

Mengutip sistem penjurian yang dikeluarkan oleh Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia (P3I), dikatakan suara tengah perkutut berkualitas harus memiliki tiga kriteria. Yakni, bertekanan, lengkap dan jelas.

Lebih jlimet lagi, suara tengah atau ketek perkutut, harus terdiri dari dua silap atau dua suku kata. Yaitu, ke dan tek. Hingga, jika suara itu dirangkai akan terbentuk dua rangkaian suara ke-tek.

Pakem atau standardisasi suara ketek ini, sudah diakui secara turun temurun, dari era kejayaan raja-raja di Pulau Jawa hingga era dioda. Yang bergeser, hanya kualitas ketek perkutut, menyusul kejayaan sistem ternak atau budidaya perkutut unggulan.”Dari dulu, pakem suara ketek ya ke dan tek. Tidak lebih tidak kurang,” ungkap Saiful, juri perkutut standar nasional asal Kediri.

Namun praktik di lapangan, suara tengah burung perkutut, bisa dibagi lagi menjadi delapan pola dasar. Yaitu, cowong (dua ketukan). telon (tiga ketukan), engkel atau genep (empat ketekuan), karotengah atau satu setengah (lima ketukan), dobel (enam ketukan), debel plus (tujuh ketukan) dan tripel (delapan ketukan).

Yang dimaksud ketukan dalam konteks ini adalah hitungan dalam keseluruhan bunyi. Dari bunyi angkatan, ketek, dan suara ujung atau tengkung. Bukan hanya dihitung suara tengahnya.

Dengan acuan ini, maka pola dasar perkutut bersuara cowong (dua ketukan), adalah perkutut yang hanya berbunyi hur … kung. Atau, klaa … kung. Atau juga waeee … kung. Atau perkutut yang tidak punya suara tengah. Cowong berarti kosong.

Makna perkutut bersuara talon, adalah perkutut yang hanya mampu bersuara tiga ketukan. Yakni, satu ketukan angkatan, satu ketukan suara tengah dan satu ketukan suara ujung. Perkutut ini, dinamakan juga perkutut mbojai (penipu), karena memiliki ketek yang tidak lengkap. Contohnya, hur… ke… kung, atau klaaa…ke…kung, atau juga waai… ke…. Kung.

Pola suara dasar perkutut ketiga adalah engkel atau genep. Lebel ini diberikan pada perkutut yang bersuara lengkap, empat ketukan. Satu ketukan angkatan, dua ketukan suara tengah dan satu ketukan suara ujung. Contohnya, hur…ke…tek…kung, atau klaa…ke…tek…kung, atau juga waiii…ke…tek…kung.


Keempat adalah pola dasar suara perkutut karo tengah atau satu setengah. Yaitu, suara perkutut yang terdiri dari lima ketukan. Satu ketukan suara angkatan, tiga ketukan suara tengah, dan satu ketukan suara ujung.

Suara perkutut ini dinamakan satu setengah karena hanya mampu mengeluarkan bunyi satu (1) ketek dan setengah ketek (ke). Contohnya, hurr … ketek..ke… kung, klaaa…ketek..ke… kung, atau juga waiii…ke..tek..ke..kung.

Sekarang, bagaimana rangkaian bunyi suara perkutut dobel dan dobel plus? Penggila perkutut, kini menjadikan bunyi perkutut dobel atau dobel plus jadi ikon. Bahkan, takaran harga burung klangenan itu pun ditentukan oleh pola dasar dua bunyi ini. Padahal, tidak semuanya perkutut yang bersuara dobel bisa dianggap berkualitas. Pun tidak semua perkutut bersuara dobel plus, bisa dijual mahal. Lalu bunya ketek dobel dan dobel plus yang bagaimana yang masuk dalam standardisasi kualitas lomba? Bersambung.andi casiyem sudin.

Makna Membat dan Bersih Angkatan Perkutut



Membat, dalam konteks suara, irama atau nada, setara dengan mendayu-dayu atau elastis. Suara angkatan perkutut juga begitu. Kriteria suara angkatan perkutut, selain harus panjang seperti yang sudah dikupas, harus membat dan bersih.

Atau, jika dicermati (bhs Jawa: dimat), terdengar mendayu-dayu, terdengar elastis, lembut dan menyentuh frasa romantisme. Meminjam apresiasi puisi barangkali kata membat yang terkandung dalam angkatan perkutut adalah ritmis.

“Kalau digambar dengan garis, seperti setengah parabola tapi cekungannya agak dangkal,” ujar M. Yadi, juri perkutut dari Yogyakarta, Kamis (26/11). Diakui, sulit memang untuk menentukan kriteria membat dalam angkatan perkutut. Sebab, ini berhubungan erat dengan rasa. Terlebih bagi pemula.

Dampaknya, seringkali terjadi salah pilih. Sebab, ada suara angkatan perkutut yang sepintas terdengar membat, tapi jika dicermati sebenarnya masuk dalam kriteria “nelek” (gemetar seperti membrane tersentuh angin).

Jalan terbaik, saran M Yadi, serahkan pada ahlinya. Artinya, jika pemula belum paham benar membedakan suara angkatan perkutut, ada baiknya minta tolong didampingi pakar, jika ingin mandapatkan perkutut unggulan.

Pasalnya, suara angkatan perkutut sangat berpengaruh pada nilai irama dan dasar suara. Banyak perkutut unggulan yang tidak mampu berbicara di konkurs, lantaran suara angkatannya hancur. Padahal, nilai suara tengah (ketek), ujung (tengkung), irama dan dasar suaranya bagus.”Kalau terjadi begini kan ngeman (sayang,red),” lanjut M Yadi.

Pengamatan di lapangan, Misteri Bahari (nama burung jawara milik John Suwandi Cirebon), mampu bertahan di urutan teratas LPI (Liga Perkutut Indonesia) dalam empat tahun berturut-turut di paro tahun 90-an lantaran memiliki suara angkatan sumpurna. Yakni, selain panjang, suara angkatan Misteri Bahari juga membat dan bersih.

Kriteria lain yang harus terkandung dalam suara angkatan perkutut kampiun adalah bersih. Bersih dalam suara angkatan perkutut, berarti tidak mengandung unsur ‘er’ atau ‘ek’. Sebab konsonan ‘er’ dan ‘ek’ dalam apresiasi seni suara perkutut termasuk konsonan kotor. “Kalau membedakan unsur suara kotor, praktiknya memang agak gampang,” jelas Yadi.

Terbaik adalah, jika suara angkatan perkutut itu mengandung unsur sengau (ngeng). Contohnya klaaangggggg, atau weeeennnggggg, atau klaoooongnngng, waaaeengngngng, atau haaeengngng.

Sejumlah juri perkuktut, saat dikonfirmasi mengatakan, pendekatan nilai angkatan perkutut dengan kriteria panjang, membat dan bersih ini biasanya dinilai dengan angka sempurna atau (9).

Setelah masuk pada apresiasi suara angkatan, berikutnya yang tidak kalah penting adalah mencermati suara tengah atau ketek. Bagaimana kriteria suara tengah perkutut berkualitas? (bersambung). andi casiyem sudin

Harga Perkutut Sama Dengan Kepercayaan



Mohammad Yusuf,52, importir perkutut berdarah Kelantan yang kini bermukim di Tulungagung mengatakan, harga seekor perkutut ditakar dengan kepercayaan. Kualitas bunyi maupun materi (genetik), berada di urutan kedua.

Komentar ini sepintas tampak controversial. Tapi di sektor hobis, terutama hobi perkutut, justru musti dijadikan acuan dasar. Ingin bukti? Tawarkan perkutut jawara pada orang yang bukan penggila perkutut. Dia hanya akan terbengong, jika sudah menyentuh sisi harga. Sebaliknya, penggila perkutut dijamin tidak akan keluarkan duit hingga ratusan juta jika orang yang menawari perkutut bukan pemain setara dia. “Tapi untuk mendapatkan kepercayaan pasar ya tidak gampang. Butuh waktu panjang,” katanya, Jumat (20/11).

Kontroversi di sektor bisnis perkutut ini, sungguh, merupakan peluang empuk bagi pemain yang berhasil memeta pasar. Sebab, tidak jarang, seorang pakar mampu meraup keuntungan puluhan juta, dari sosok perkutut yang awalnya hanya dibeli ratusan ribu., Sebaliknya, di tangan orang yang bukan ahlinya, perkutut bernilai jutaan seringkali hanya dibanting senilai ratusan ribu.

Itu dia. Lantaran barang yang dijualbelikan adalah perkutut, apa pun kiatnya, pemahaman karakteristik perkutut itu sendiri wajib dilakukan. Hasil survey menunjukkan, banyak peternak perkutut bongkar kandang lantaran tidak mendapat kepercayaan pasar. Padahal investasi yang dipertaruhkan tak sedikit. Mencapai miliaran.

Sony Bird Farm adalah contoh konkret peternak burung perkutut yang gagal memformat segmen pasar. Padahal, Kongmania dalam negeri tahu persis, di era 80-an centra ternak perkutut milik Koh Jin, Madiun, ini masuk The Big Ten Indonesian Bird Farm.

“Rata-rata kegagalan mereka dalam berternak karena dua alasan. Jika gagal dalam memeta segmen pasar, ya karena peternak itu sendiri belum memahami karakteristik suara perkutut,” ujar Lamidi, ketua Sie Lomba Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia (P3SI) Korwil Jatim.

Menurut dia, banyak pemain yang belum paham mengapresiasi anggungan perkutut. Pemain, kebanyakan, keburu merasa bisa (rumangsa bisa), kemudian beranggapan burung miliknya paling bagus, disbanding burung punya orang lain. Dampaknya, ketika perkutut gacoannya gagal berkoar di lomba, serta merta mencari kambing hitam. “Di sisi ini juri perkutut yang biasanya jadi kambing hitam. Dianggap tidak bisa kerja,” kata Lamidi.

Yakinlah, pemain perkutut dengan ego semacam itu, tidak akan bertahan lama dalam persaingan bisnis hobis. Sebab bisnis hobis butuh kesabaran tinggi. Ini mengingat, segmen pasar bisnis hobis relative terbatas. Boleh dibilang, hanya melingkat-lingkar di kalangan penghobi sejenis. Sahamnya, praktis hanya bertumpu pada kepercayaan pasar dan brand image. Sekali menciderai pelanggan, jangan harap bisa menggaet pelanggan lain.

Dus, disarankan kepada pemula untuk memahami dulu karakteristik suara perkutut sebelum terjun ke bisnis perkutut.

Mengutip acuan dasar Tata Cara Konkrus dan Penjuarian produk P3SI, nilai dalam konkurs burung perkutut adalah pernyataan perbandingan keindahan suara yang diwujudkan dalam angka-angka tertentu.

Penilaian keindahan suara dalam konkurs itu sendiri dirinci ke dalam lima (5) sasaran penilaian. Yakni : a) Suara depan, dengan kriteria panjang, membat (mengayun) bersih. b) Suara tengah, dengan kriteria bertekanan, lengkap dan jelas. c). Suara ujung dengan kriteria bulat, panjang dan mengalun. d). Irama dengan kriteria senggang, lenggang, elok dan indah. e). Dasar suara atau kualitas suara dengan kriteria tebal, kering, bersih dan jernih.

Dari lima kriteria itu, suara tengah lebih sering memunculkan silang pandang dan perdebadan panjang. Sejumlah pakar mengakui, kesulitan mendasar dalam memahami suara perkutut adalah mengapreasiasi suara tengah. “Kalau soal memahani suara angkatan (suara depan,red), irama, dasar suara atau suata ujung biasanya lebih mudah,” ujar Suyanto, juri nasional P3SI asal Jatim.

Misalnya, memahami suara depan atau angkatan. Kuncinya hanya panjang memabat dan mengayun dan bersih. Bersih dalam hal ini harus terbebas dari konsonan “er” atau “ek”. Misalnya, wao….. atau klao…. atau juga waee … mau pun waeenng.... Yang agak sulilt barangkali, cara mengukur panjang pendeknya suara angkatan. Pertanyaannya, bagaimana mengukur panjang pendeknya suara depan? (bersambung) andi casiyem sudin

Kupas Tuntas Hobi Perkutut (2) Apresiasi Dulu, Baru Investasi

Mitos burung perkutut menclok di becak H.Hasan, hingga kini tetap bergema mengilhami sukses stori Kongmania (sebutan penghobi berat burung perkutut) di tanah air. Pelecutnya, cukup klasik. Perkutut temuan mampu mendongkrak perekonomian lelaki asal Madura itu. Pun, keberanian dia meninggalkan profesi lama sebagai abang becak, beralih ke ternak perkutut, patut dibilang sebagai revolusi di bidang wirausaha.

Fakta berbicara, nama H Hasan kini melegenda. Si Abang Becak itu, menjelma jadi pengusaha ritel, yang tak hanya bisa mengidupi anak cucu. Tapi juga mampu membuka peluang kerja, memberi matapencarian puluhan jiwa.

Sementara, di sudut kediaman dia, di bilangan Rungkut Surabaya, sekitar 150 kandang perkutut, sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Alasannya klasik, kekayaan yang dia dapat, berawal dari inovasi breeding di kadang kututnya itu.

Jaya Suprana dalam seminar agrobisnis di Hotel Merdeka Madiun, bilang, sukses stori dalam berwirausaha terpola dalam konsep religiusitas berakronim 5i. Yakni, intusisi, inspirasi, intelegensi, inovasi dan insya Allah. Tapi dalam proses keluaranya, tegas pemilik Museum Rekor Indonesia itu, akronim i yang terakhir (insya Allah) jadi kunci penentu.

Pola sukses bisnis perkutut, setali tiga uang. Proses pegang peranan. Gunawan, pemilik Galaxi Bird Farm, Ponorogo, mengaku baru mengenyam keberhasilan dalam beternak perkutut setelah belasan tahun mencermati karakteristik burung klangenan itu. Haji Muhammad, pemilik ‘‘Susi Susanti”, perkutut jawara di tahun 80-an, tidak serta merta meraup keuntungan dalam hitungan hari.”Orang biasanya hanya melihat sisi suksesnya. Padahal, hampir setiap peternak perkutut sebelumnya babak belur,” ungkap Gunawan alia Kho Jang.

Lelaki yang kini juga menekuni bisnis sarang wallet itu, lebih meyakini petuah kuno dalam berbisnis. Yakni, kuasai jurus dulu, baru terjun ke gelanggang. Jurus dalam konteks ini adalah pemahaman karakteristis burung perkutut. Dari katuranggan (sosok), habitat murni, hingga ke apresiasi suara (anggung).

Hasil survey menunjukkan, keberhasilan pebisnis perkutut mencetak piyikan (anak perkutut) kampiun bernilai ratusan juta rupiah, tidak lepas dari pola sukses stori berakronim ‘i’ (insya Allah) ala Jaya Suprana. “Campur tangan Tuhan, dalam proses breeding perkutut harus diyakini dan ditempatkan pada urutan teratas. Saya meyakini itu,” ujar H.Andy, pemilik peternakan berlebel AMIR, dari Kediri.

Logika spiritualnya, budidaya ternak perkutut sama artinya dengan bermain-main dengan nyawa. Bermain dengan sosok makluk hidup yang bernama perkutut. Maknanya, posisi peternak dalam hal ini berada cuma sebagai pemproses. Soal hasil akhirnya, berada di tangan Allah.

Lantaran posisi peternak dalam penangkaran perkutut hanya berada pada proses, tugas peternak adalah seoptimal mungkin mempelajari, mencermati, memahami dan menghayati karakteristik burung itu.

Jadi, sebelum mentukan keputusan terjun ke bisnis perkutut, orang itu harus lebih dulu mencintainya. Inti cinta adalah memberi dan menerima tanpa terbebani tuntutan.”Dari sini baru masuk pada pemahaman karakteristik. Misalnya, kesukaannya makannya apa, bunyinya bagaimana, dan libodonya seperti apa. Kalau burung itu sukanya makan milet, ya jangan diberi gabah atau ketan hitam. Ikuti aja kemauannya, ” lanjut Andy.

Sayangnya, proses pemahamanan karekateristik burung perkutut ini, terutama pada sisi apresiasi, seperti diungkap Syaiful, juri perkutut bersertivikat nasional, butuh waktu panjang. Dan, inilah kendala utama bagi pemula (sebutan orang yang baru terjun ke hobi perkutut). Sebab diyakini, masih banyak pemula yang keliru mengapresiasi anggungan perkuktut. “Misalnya dalam mengapresiasi dasar suara. Banyak penggemar yang masih mbledro (salah tafsir), terutama suara tengah atau ketek, ” kata Syaiful.

Acuan dasar, terdapat delapan pola dasar bunyi perkutut. Yaitu, cowong (dua ketukan). telon (tiga ketukan), engkel atau genep (empat ketekuan), karotengah atau satu setengah (lima ketukan), dobel (enam ketukan), debel plus (tujuh ketukan) dan tripel (delapan ketukan).

Sedangkan referesnsi apresiasi bunyi, terpola tiga kriteria. Yakni, angkatan (suara depan – hur atau klar, atau juga klao), ketek (suara tengah – ketek, atau ke ke, atau kek kek), dan ujung (tengkung – kung atau klak).
Tapi dalam apresiasi penjurian di konkurs perkutut, apresiasi suara perkutut ditambah dengan dua kriteria dasar. Yaitu, ditambah irama (nada) dan kualitas suara (air suara).

Beracuan referensi itu, kunci suara tengah (atau ketek) adalah rangkaian bunyi yang terdiri dari dua silap (ketukan) atau dua suku kata, “ke” dan “tek”. Dalam sistem penjuarian, nilai tertinggi pada apresiasi suara tengah atau ketek, diberikan pada burung perkutut dengan ketek yang jelas, tebal, dan senggang (mji-miji). Biasanya perkutut dengan suara tengah sempurna diberi nilai dengan angka pendekatan 9 (sempurna).

Dari hasil penghayatan ini, berarti perkutut bisa dikatakan memiliki suara tengah jika ia mampu mengeluarkan bunyi “ke” dan “tek”. Pertanyaannya, dan ini sering menjebak pemula, burung dengan suara tengah yang ajeg, misalnya te,te,te,te atau kek,kek,kek,kek --- berapa pun jumlah pengulangannya, apakah bisa dianggap memiliki suara tengah atau ketek? (bersambung). andi casiyem sudin.

Kupas Tuntas Soal Perkutut (1)

Orang boleh bilang, penghobi berat burung perkutut adalah pemimpi. Utopis dan kurang kerjaan. Tapi fakta berbicara, dari sekian banyak dunia hobis, terutama satwa dan fauna, perkutut menduduki ranking teratas penyelamat investasi bisnis di sektor “klangenan”.

Sebut misalnya, peternak perkutut papan atas Indonesia, seperti WAT (Watma Subandi, Tasikmalaya, Jabar), Terminal Perkutut (Bambang Atmaja – A Hong, Surabaya), Kopa (A Lung-Surabaya) dan Palem (Abay-Tasik Malaya), serta AMIR (H Andi, Kediri). Mereka merupakan figur miliader dengan kepemilikan pabrik atau usaha yang sudah menggurita.

Bambang Atmaja, adalah sosok ekportir kayu, A Lung, pemilik pabrik kabel dan konveksi kualitas ekspor bermerek KOPA, dan H Andi, merupakan pengusaha armada berat skala nasional. Selain melirik bisnis perkutut, H Andi juga pemilik peternakan Kuda balap di perbatasan Kediri-Madiun, dengan omset ribuan ekor kuda.

Belasan tahun sudah mereka masuk ke bisnis perkutut, dan selama itu pula mereka tetap bertahan. Padahal, modal yang dipertaruhkan tak cuma bernilai ratusan juta, tapi bisa tembus miliaran rupiah. Pertanyaannya, mereka betah bergelut di dunia perkutut, hanya karena lantaran seneng dan hobi? Its imposible!

Ingin bukti? Apa yang dilakukan Abay, Tasik Malaya, dalam musim konkurs atau lomba perkutut tahun ini. Peternak legendaris bermerek Palm (di dunia perkutut disebut dengan gelang atau ring yang dipasang di kaki burung) itu, rela merogoh kocek hingga setengah miliar, hanya untuk berburu materi indukan jantan jawara benama Aljazair milik Bambang Atmaja (Terminal Perkutut-TP).

Padahal di tangan TP, burung bergelang MLT generasi trah murni Bangkok Selatan itu, sudah dikembangkan dan beranak pinak. Di kandang Palm, anakan atau piyikan Aljazair, dibandrol sebesar Rp 50 juta - Rp75 juta dengan sistem booking. Masgulnya, dalam empat bulan terakhir ini, peminat piyikan dari trah Aljazair, sudah memenuhi buku catatan pemesan.”Hampir semua temen yang main ke sini, booking anak kandang Aljazair,” ujar Watma, saat dihubungi melalui telpon, Rabu (18/11).


Booking merupakan istilah pesanan anak atau piyik perkutut yang dilakukan konsumen ke peternak. Jangan salah tafsir, sistem booking ini yang dihargai bukan telur perkutut. Tapi piyik perkutut. Atau lebih dikenal sebagai bakalan. Maknanya, pembayaran dilakukan setelah telor menetas jadi piyik dan bisa makan sendiri (bakalan terbang).

Dalam olah hitung breeding perkutut, Watma mampu mengembalikan modal dalam tenggang waktu 6 bulan. Pola yang diterapkan adalah breeding dengan konsep inang, atau baby sister. Takaran normal, musim panen ternak perkutut bersiklus empat lima hari sekali. Dupa pekan waktu telur dan pengeraman. Empat pekan pembesaran anak. Tapi dengan pola inang, musim panen bisa dipercepat dalam tenggang waktu hanya empat pekan. (Sistem breeding perkutut akan kami kupas dalam tulisan berikutnya)

Fakta dalam skala kecil, apa yang dialami Handoko alias Ting Han, penghobi berat asal Kota Madiun. Pemilik toko konveksi Istana Ibu, tiga pekan lalu baru saja melego perkutut indukan seharga Rp 75 juta berikut seekor piyik perkutut usia 3 bulan yang dihargai Rp 30 juta. Padahal Ting Han mengaku, indukan burung itu dulunya hanya dibeli senilai Rp 7, 5 juta.

Peminatnya A Lung, peternak berlebel Kopa asal Surabaya.Hebatnya, ternyata di tangan A Lung, piyikan yang ditranfers dari Ting Han itu mampu berkoar di lapangan dan terbabtis jadi Juara I kelas piyikan. “Burung itu sekarang dibandrol Rp 125 juta,” ujar Lamidi, pakar perkutut asal Surabaya.

Dus, hanya dalam tempo sekitar tiga pekan, A Lung mampu memformat modal awal senilai Rp 30 juta, jadi Rp 125 juta. Alias, naik sekitar Rp 85 juta.

Pertanyaannya, bagaimana mereka mampu menikmati sisi manis dalam berbisnis perkutut, dan kriteria apa yang musti dimiliki perkutut bernilai unggul yang disebut-sebut sebagai perkutut kampiun atau jawara? Bersambung (andi casiyem sudin)