Senin, 30 November 2009

Kupas Tuntas Hobi Perkutut (2) Apresiasi Dulu, Baru Investasi

Mitos burung perkutut menclok di becak H.Hasan, hingga kini tetap bergema mengilhami sukses stori Kongmania (sebutan penghobi berat burung perkutut) di tanah air. Pelecutnya, cukup klasik. Perkutut temuan mampu mendongkrak perekonomian lelaki asal Madura itu. Pun, keberanian dia meninggalkan profesi lama sebagai abang becak, beralih ke ternak perkutut, patut dibilang sebagai revolusi di bidang wirausaha.

Fakta berbicara, nama H Hasan kini melegenda. Si Abang Becak itu, menjelma jadi pengusaha ritel, yang tak hanya bisa mengidupi anak cucu. Tapi juga mampu membuka peluang kerja, memberi matapencarian puluhan jiwa.

Sementara, di sudut kediaman dia, di bilangan Rungkut Surabaya, sekitar 150 kandang perkutut, sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Alasannya klasik, kekayaan yang dia dapat, berawal dari inovasi breeding di kadang kututnya itu.

Jaya Suprana dalam seminar agrobisnis di Hotel Merdeka Madiun, bilang, sukses stori dalam berwirausaha terpola dalam konsep religiusitas berakronim 5i. Yakni, intusisi, inspirasi, intelegensi, inovasi dan insya Allah. Tapi dalam proses keluaranya, tegas pemilik Museum Rekor Indonesia itu, akronim i yang terakhir (insya Allah) jadi kunci penentu.

Pola sukses bisnis perkutut, setali tiga uang. Proses pegang peranan. Gunawan, pemilik Galaxi Bird Farm, Ponorogo, mengaku baru mengenyam keberhasilan dalam beternak perkutut setelah belasan tahun mencermati karakteristik burung klangenan itu. Haji Muhammad, pemilik ‘‘Susi Susanti”, perkutut jawara di tahun 80-an, tidak serta merta meraup keuntungan dalam hitungan hari.”Orang biasanya hanya melihat sisi suksesnya. Padahal, hampir setiap peternak perkutut sebelumnya babak belur,” ungkap Gunawan alia Kho Jang.

Lelaki yang kini juga menekuni bisnis sarang wallet itu, lebih meyakini petuah kuno dalam berbisnis. Yakni, kuasai jurus dulu, baru terjun ke gelanggang. Jurus dalam konteks ini adalah pemahaman karakteristis burung perkutut. Dari katuranggan (sosok), habitat murni, hingga ke apresiasi suara (anggung).

Hasil survey menunjukkan, keberhasilan pebisnis perkutut mencetak piyikan (anak perkutut) kampiun bernilai ratusan juta rupiah, tidak lepas dari pola sukses stori berakronim ‘i’ (insya Allah) ala Jaya Suprana. “Campur tangan Tuhan, dalam proses breeding perkutut harus diyakini dan ditempatkan pada urutan teratas. Saya meyakini itu,” ujar H.Andy, pemilik peternakan berlebel AMIR, dari Kediri.

Logika spiritualnya, budidaya ternak perkutut sama artinya dengan bermain-main dengan nyawa. Bermain dengan sosok makluk hidup yang bernama perkutut. Maknanya, posisi peternak dalam hal ini berada cuma sebagai pemproses. Soal hasil akhirnya, berada di tangan Allah.

Lantaran posisi peternak dalam penangkaran perkutut hanya berada pada proses, tugas peternak adalah seoptimal mungkin mempelajari, mencermati, memahami dan menghayati karakteristik burung itu.

Jadi, sebelum mentukan keputusan terjun ke bisnis perkutut, orang itu harus lebih dulu mencintainya. Inti cinta adalah memberi dan menerima tanpa terbebani tuntutan.”Dari sini baru masuk pada pemahaman karakteristik. Misalnya, kesukaannya makannya apa, bunyinya bagaimana, dan libodonya seperti apa. Kalau burung itu sukanya makan milet, ya jangan diberi gabah atau ketan hitam. Ikuti aja kemauannya, ” lanjut Andy.

Sayangnya, proses pemahamanan karekateristik burung perkutut ini, terutama pada sisi apresiasi, seperti diungkap Syaiful, juri perkutut bersertivikat nasional, butuh waktu panjang. Dan, inilah kendala utama bagi pemula (sebutan orang yang baru terjun ke hobi perkutut). Sebab diyakini, masih banyak pemula yang keliru mengapresiasi anggungan perkuktut. “Misalnya dalam mengapresiasi dasar suara. Banyak penggemar yang masih mbledro (salah tafsir), terutama suara tengah atau ketek, ” kata Syaiful.

Acuan dasar, terdapat delapan pola dasar bunyi perkutut. Yaitu, cowong (dua ketukan). telon (tiga ketukan), engkel atau genep (empat ketekuan), karotengah atau satu setengah (lima ketukan), dobel (enam ketukan), debel plus (tujuh ketukan) dan tripel (delapan ketukan).

Sedangkan referesnsi apresiasi bunyi, terpola tiga kriteria. Yakni, angkatan (suara depan – hur atau klar, atau juga klao), ketek (suara tengah – ketek, atau ke ke, atau kek kek), dan ujung (tengkung – kung atau klak).
Tapi dalam apresiasi penjurian di konkurs perkutut, apresiasi suara perkutut ditambah dengan dua kriteria dasar. Yaitu, ditambah irama (nada) dan kualitas suara (air suara).

Beracuan referensi itu, kunci suara tengah (atau ketek) adalah rangkaian bunyi yang terdiri dari dua silap (ketukan) atau dua suku kata, “ke” dan “tek”. Dalam sistem penjuarian, nilai tertinggi pada apresiasi suara tengah atau ketek, diberikan pada burung perkutut dengan ketek yang jelas, tebal, dan senggang (mji-miji). Biasanya perkutut dengan suara tengah sempurna diberi nilai dengan angka pendekatan 9 (sempurna).

Dari hasil penghayatan ini, berarti perkutut bisa dikatakan memiliki suara tengah jika ia mampu mengeluarkan bunyi “ke” dan “tek”. Pertanyaannya, dan ini sering menjebak pemula, burung dengan suara tengah yang ajeg, misalnya te,te,te,te atau kek,kek,kek,kek --- berapa pun jumlah pengulangannya, apakah bisa dianggap memiliki suara tengah atau ketek? (bersambung). andi casiyem sudin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar