Senin, 07 Desember 2009

Ketek Kopong Picu Ambigu

Pola dasar suara perkutut dobel dan dobel plus, kini jadi genre mutakhir tren perkutut nasional. Wajar, jika kongmania memburunya. Meski untuk mendapatkan burung klangenan itu, penggemar musti mengeluarkan ratusan hingga di atas satu miliar.

Abay, peternak belebel Palm, Tasik Malaya, rela merogoh kocek hingga setengah miliar, hanya untuk berburu materi indukan jantan jawara benama Aljazair milik Bambang Atmaja (Terminal Perkutut-TP).

Sementara di kandang Palm, anakan atau piyikan Aljazair, dibandrol sebesar Rp 50 juta - Rp75 juta dengan sistem booking. Bassic blood perkutut dobel plus berlebel Meteor, Selancar, Surabaya, sudah beberapa musim konkurs, membuka penawaran anak Meteor dengan bandrol Rp 30-45 juta.

Bandrol yang dipasang untuk anakan perkutut papan atas ini, jelas cukup menggiurkan.Namun, musti diyakini, tidak semua keturunan perkutut juara mampu jadi juara. Bahwa, pameo perkutut juara 99 persen lahir dari indukan juara, benar adanya. Tapi survey juga membuktikan, tidak sedikit generasi perkutut jawara, tumbang di lapangan.

“Kabanyakan hancurnya di suara tengah. Kalau tidak “ketelek” ya “kopong” atau cowong (kosong,Red),” ujar Kho Ting Han, pakar perkutut Madiun.Acuan mendasar, perkutut bukan benda mati yang bisa diproduk dengan mesin. “Factor X sangat menentukan,” lanjutnya.

Karenanya, disarankan kepada pemula, agar lebih cermat dalam memilih perkutut yang bakal dibeli. Terutama, mencermati suara tengah (ketek) dan ujungnya. Sebab, banyak perkutut berpola dasar suara dobel dan dobel plus, tapi jika dicermati lebih njlimet lagi, ternyata “kopong”. Kalau tidak begitu ya “ketelek”.

Kopong adalah istilah untuk menengarai bunyi ketek yang tidak lengkap alias kosong. Pengamatan lapangan, banyak perkutut berpola dasar suara dobel dan dobes plus, tapi jika dijlimeti lagi sebenarnya kosong.

Kongmania mengakui, cukup sulit membedakan ketek lengkap dan kopong. Sebab, jika didengar sekilas, suara ketek kopong itu nyaris menyerupai ketek lengkap. Misalnya, hur..te..te..te..te..kung, Atau klaa…te…te…te...te…kung. Atau juga waii…te…te…te…te…kung.

Mencermati contoh tersebut, sekilas suara tengah perkutut itu masuk dalam kriteria dobel. Yakni, lantaran tersusun dari enam ketukan. Tapi jika dijlimeti lagi, suara tengah perkutut tersebut sebenarnya kopong atau kosong. Sebab hanya terbentuk dari pengulangan kata ‘te’. Padahal, pakem suara tengah perkutut harus terbentuk dari dua suku kata atau dua silap. Yaitu, ‘ke’ dan ‘tek’.

Kurangnya pemahaman sebagian kongmania membedakan soal ketek ini, acapkali menyulut keributan di tengah konkurs. Terutama, jika dalam konkurs tersebut muncul sejumlah burung berpola dasar dobel atau dobel plus, yang sekilas, terdengar nyaris serupa.

Dampaknya, juri sering dijadikan kambing hitam.Tudingan jelek, tidak jarang mengarah ke juru pengadil di lapangan ini. Padahal, bagi pakar perkurut, perbedaan antara ketek dobel dan ketek kopong, meski tipis, tetap berbeda.

Tipisnya perbedaan ini pula, diakui, menjadikan nilai tawar ketek dobel atau dobel plus setara dengan ketek kopong. Di pasar bebas, perkutut bersuara ketek kopong, asal membentuk rangkaian enam ketukan atau lebih, dibandrol dengan harga selangit.Sasarannya adalah pemula yang belum paham apresiasi suara.

Sungguh, rendahnya apresiasi di kalangan kongmania ini, memicu terjadinya ambiguitas dalam menengarai suara ketek. Banyak penggemar yakin, pokok berbunyi enam ketukan, perkutut itu masuk ke kriteria dobel. Meski, harus diakui, bahwa keyakinan ini keliru.

Jebakan berikutnya dalam apresiasi suara perkutut adalah membedakan ketek lengkap dan “ketelek”. Bagaimana bentuk suara perkutut “ketelek” itu?(bersambung) andi casiyem sudin.

Selasa, 01 Desember 2009

Dobel Plus Genre Mutakhir Perkutut Indonesia



Acauan dasar, suara perkutut dobel plus terangkai dari tujuh ketukan suara. Yakni, satu suara angkatan, lima ketukan suara tengah (ketek) dan satu ketukan suara ujung. Namun dalam perkembangannya, istilah dobel plus ini digunakan untuk menengarai perkutut yang berbunyi tujuh ketukan atau lebih.

Yang cukup menyulitkan, meski istilah dobel plus digunakan untuk menengarai perkutut yang berbunyi tujuh ketukan atau lebih, khusus untuk perkutut yang berbunyi delapan ketukan, istilah yang dipakai bukan lagi dobel plus tapi triple.

Gampangnya, perkutut dobel plus adalah perkutut yang mampu merangkai suara tujuh ketukan dan di atas delapan ketukan atau lebih. Khusus perkutut bersuara delapan ketukan, dinamai tripel. Yakni, satu ketukan suara angkatan, enam ketukan suara tengah (ketek) dan satu ketukan suara ujung.

Contoh, suara perkutut dobel plus : hur…ketek…ketek…ke …kung. Atau klaa…ke-tek…ketek…ke…kung. Atau juga waii…ketek…ketek…ke…kung.

Contoh suara perkutut tripel : hur…ketek…ketek…ketek…kung.Atau klaa…ke-tek…ke-tek…ketek…kung. Atau juga waii…ke-tek…ke-tek…ke-tek…kung. (Perhatikan, suara tengahnya. Perkutut berpola dasar suara triple memiliki enam ketukan suara tengah, atau tiga kali ketek).

Sedangkan jika perkutut itu berbunyi di atas delapan ketukan, penggemar lebih condong memberi istilah dobel plus.Misalnya, terhadap perkutut dengan suara sembilan atau sepuluh ketukan.

Barangkali komunitas di luar kongmania, bakal mengatakan, adalah mustahil, menjumpai perkutut dobel plus yang memiliki sembilan ketukan atau lebih. Tapi survei lapangan membuktikan, perkutut jawara tingkat nasional saat ini didominasi perkutut dobel plus.

Sebut misalnya, “Meteor Selancar”, “Aljazair”, “Mahkota Raja” atau juga “Mandi Laras”. Deretan nama perkutut papan atas Liga Perkutut Indonesia (LPI) itu, adalah perkuktut yang memiliki karakter bunyi dobel plus.

Bahkan, dalam perkembangannya, nama Meteor, Aljazair, Mahkota Raja dan Mandi Laras, belakangan justru dijadikan ikon perkutut dobel plus. “Basic blood”, peternak perkkutut nasional juga berkiblat ke sini. Maknanya, nama perkutut jawara itu, mampu membentuk genre baru blantika perkutut jawara nasional.

“Awalnya penggemar perkutut phobi, terhadap perkutut dobel plus. Perkutut dobel plus dianggap sirikan (pantangan,red), ” ujar Lamidi, ketua departemen penjurian P3SI Korwil Jatim. Penyulutnya, perkutut dobel plus biasanya hancur di suara ujung. Atau patah (perkutut yang tidak memiliki suara ujung -- insya Allah akan kami bahas pada edisi berikutnya,red). “Tapi sekarang perkutut dobel plus justru diburu kongmania,” lanjut pakar perkutut yang tinggal di Sidoarjo itu.

Seperti halnya perkutut dobel, kualitas suara tengah dobel plus atau tripel, harus jelas, bertekanan dan lengkap. Tidak “nrithik, jalan atau nyeret”. Istilah yang lebih tepat, harus terformat dengan intonasi suara yang “miji-miji dan lelah” (berintonasi stabil).

Bagaimana membedakan suara ketek “nrithik dan miji-miji”? Mudah banget. Coba ketukkan ujung jari Anda ke meja atau papan. Bentuk ketukan dengan intonasi senggang. Misal, tiap satu detik satu ketukan. Bunyi yang terbentuk dari ketukan ujung jari anda dengan intonasi stabil satu detik itu, boleh dikatakan sebagai ketukan yang “miji-miji”.

Sekarang, ketukkan ujung jari Anda ke meja atau papan. Intonasinya dibuat dua sampai tiga ketukan dalam satu detik. Bunyi yang dihasilkan ketukan ujung jari dengan intonasi dua sampai tiga ketikan dalam satu detik itu, bisa dikatakan nrithik atau nyeret.(bersambung) andi casiyem sudin