Senin, 25 Oktober 2010

Penghasilan 5 Juta Perbulan Itu Didapat Dari Ternak Kutut Kropyok

Siapa setia pelihara yang kecil, dia akan dibesarkan. Siapa bermimpi raih kebesaran, dia akan dikerdilkan. Itu kiat jitu peternak perkutut kropyok (kelas ekonomi). Pepatah bilang, sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.

Fajar, warga Saradan Madiun telah membuktikan. Dengan aset 100 pasang indukan, tiap bulan, lelaki ini bisa maraup penghasilan Rp 2 juta bersih. Besaran penghasilan lumayan besar untuk takaran peternak kecil yang hidup di pinggiran hutan Saradan.

Penghasilan itu masih ditambah dengan rejeki tiban (rejeki tak terduka). Yakni, manakala dari kandang ternaknya itu muncul piyik perkutut dengan kualitas bagus. Ini mengingat tidak semua materi indukan yang dimiliki berkualitas kropyok. Terdapat beberapa pasang indukan trah burung kampiun. Meski, Fajar sendiri mengaku materi indukan itu dibeli dengan harga kualitas kropyok.

“Sejak buka kandang saya memang berniat ternak kutut kropyok. Tidak terlalu pusing. Asal bisa telur, netas, jadilah duwit. Tidak perlu pusing-pusing pantau ita-itu,” ujarnya.

Sutrisno, warga Munggut, Kabupaten Madiun, lebih-lebih. Begitu berminat ternak perkutut kroyok, dia langsung buka ratusan kandang. Dalam beberapa tahap, kini kandang ternaknya mencapai 450 pasang perkutut.

Tentu, penghasilan rutin bulanan yang didapat pun lebih tinggi. Sekali panen, karyawan PDAM Kabupaten Madiun itu sediktinya bisa mengantongi keuntungan bersih Rp 5 juta.

Perhitungan acaknya, dari 450 pasang indukan, sebulan bisa keluarkan piyik 250 ekor. Satu ekor piyik kropyok dijual seharga Rp 20 ribu. Totalnya, 250 X Rp 20 sama dengan Rp 5 juta.

Untuk biaya perawatan dan gaji seorang perawat, cukup diambilkan dari hasil penjualan piyikan perkutut kualitas sedang secara eceran. Sebab, Sutrisno juga menyelipkan materi indukan berkualitas di antara kandang ternak perkutut kroyoknya itu.

ang sebesar itu, boleh dibilang datang sendiri. Seorang pengepul dari Yogyakarta, saban bulan setia mengambil produksinya. Kalau tidak dari Yogyakarta, sejumlah pedagang burung lokal juga rutin kulakan.

Seperti Fajar, Sutrisno mengaku terjun ke ternak perkutut murni bisnis. “Saya sebenarnya tidak begitu paham perkutut. Makanya yang saya geluti ternak perkutut kropyok,” katanya.

Lantaran, pilihan segmen pasarnya di level bawah, kontruksi kandangnya pun dipilih kontruksi kandang tumpuk. Dengan ukuran mungil. Yakni, panjang 50 cm, tinggi tinggi 50 cm dan lebar 45 cm. Serupa sangkar burung ocehan.

Kandang pembiakan itu dibuat berjejer, dan dipasang di tembok dengan sistem bertingkat-tingkat. Untuk menu pakannya, digunakan campuran foor ayam dan sedikit millet.

Dengan inovasi paling pragmatis kayak gitu, terbukti Sutrisno rauop penghasilan tambahan sekitar Rp 5 juta per bulan.

BURSA & KONSULTASI PERKUTUT CALL HP 081 335 596 811

Inova Alla Star Berjaya di Laga Perkutut

Inova All Star (IAS), perkutut hasil inovasi kandang Inova Bird Farm Madiun, kian berpamor. Dalam lomba burung perkutut bertajuk Madiun Cup I /2010, si lurik manis debutan Andi Cs itu mampu bertengger di tiga besar, bersaing ketat dengan Naga Surya, milik Yong Bledek, Nganjuk dan Adinda milik Ir. Sudirman Madiun.

Sejak babak pertama dihelat, perseteruan tiga perkutut kampiun di kelas senior itu, cukup heboh. Inova All Star (IAS) yang bertengger di gantangan 43, langsung mengumpulkan poin tertinggi. Bahkan di babak pembuka ini, IAS sempat mengungguli Adinda dan Naga Surya.

Persaingan tiga perkutut kampiun di kelas senior ini terus berlanjut hingga turun minum. Inova All Star dengan suara khas dobel, besar dan berujung panjang itu memimpin di dua babak pendahulu.

Bahkan kepiawaian Inova All Star dalam memimpin babak pembuka itu, menghipnotis penggemar dari Malang. Di sela perhelatan kongmania, IAS sempat dirayu dengan tawaran menggiurkan. Yakni, Rp 25 juta. Namun, sang pemilik, tampaknya belum tertarik dengan tawaran itu.

Masuk babak ketiga, selepas turun minum, Naga Surya mendadak mengeluarkan suara tembakan tengah ngocak dan tengkung panjang meruncing. Bak menyalip di tikungan, perkutut milik Ayong Bledek, Nganjuk itu, tembus poin tertinggi.

Perolehan angka tertinggi di babak ketiga ini, terbukti mampu membabtiskan NS pada posisi teratas di kelas senior.

Persaingan semakin tajam di babak keempat. Posisi gantangan Ias yang berada dipinggir, mulai ungkit masalah. Teriakan peserta, menjadikan Ias ngelabrak dan putar-putar. Dampaknya, Ia tak mampu keluarkan suara emasnya di babak penentu. Kalah tipis dibanding Adinda, yang terus bertahan di posisi runner up.

Gelaran Madiun Cup I/2010 itu sendiri berjalan mulus. Sebanyak 170 peserta dari Madiun, Ngawi, Ponorogo, Kediri, Nganjuk, Magetan dan Surabaya, ikut ambil bagian.”Sebagai acuan barometer kualitas apresiasi perkutut, lomba kali ini bisa dibilang bagus. Persertanya membludag, “ ujar Handoko, ketua panitia lomba.

Lomba yang dihelat di pusat latihan perkutut P3SI Korda Madiun, Komplek Stadion Wilis itu menghelat tiga kelas. Yakni, Senior, Yunior dan Kelas Piyik Hanging. Keluar sebagai juara keempat, setelah Naga Surya, Adinda dan Inova All Star, perkutut milik Danang, Ponorogo.

Sedangkan posisi lima hingga sepuluh besar, masing-masing diraih, Gladiator (Sudirman, Madiun), Melodiku (Sutrisno, Kediri), Anonim (Hadi, Magetan), Joyo, Mukandar, Ponorogo) Ruyung (Yong Bledek, Nganjuk) dan Satria (H. Parmin, Ponorogo).

Inova Bird Farm Call HP 081 335 596 811

Ikon Irama Perkutut Sering Terjebak Trend Pasar

Kegagalan kongmania dalam mengapresiasi irama perkutut, lebih dikarenakan pemahaman parsial terhadap suara perkutut itu sendiri. Penyebab lain, lantaran terjebak permintaan dan persaingan pasar bebas.

Demikian data empiris yang berhasil diperoleh penulis. Indikasinya, kongmania kerap hanya fokus pada bunyi suara tengah (ketek) jika mencermati irama perkutut. Padahal, irama perkutut tercipta dari kompilasi bunyi angkatan (suara depan), ketek (suara tengah), tengkung (ujung) dan dasar suara.

“Kenapa sampai terjadi begitu? Penyebabnya, karena perubahan tren pasar,” ujar Suhendro, pakar perkutut asal Kediri.

Pemilik :Gotong Royong”, burung kampiun senilai setengah miliar itu mencontohkan,. saat ini, ketika tren pasar terhipnotis suara ketek perkutut dobel dan dobel plus, kongmania lantas beranggapan, irama burung terbagus saat ini tercipta dari suara tengah dobel dan dobel plus.”Padahal tidak semua perkutut dengan ketek dobel itu berirama bagus. Banyak perkutut engkel dan satu setengah berirama bagus. Bahkan lebih bagus dari dobel dan dobel plus,” lanjutnya.

Tapi diakui, kekeliruan salah kaprah dalam pemahaman irama burung perkutut ini, praktis jadi fenomena klasik di tengah perburuan burung klangenan ini.

Boleh jadi, kelak ketika inovasi kandang berhasil menetaskan burung perkutut dengan ketek tripel atau tripel plus (lebih dari delapan – sembilan ketukan) irama perkutut bakal terjebak pada perkutut dengan ketek tripel atau tripel plus.

Masgulnya lagi, nilai-nilai materialistik, seperti permintaan pasar dan lebel harga dalam konteks apresiasi irama ini, terbukti mampu memporakporandakan nilai idealisme.

Fakta berbicara, perkutut dengan suara ketek engkel, sebagus apa pun iramanya, tetap asor (kalah saing dan pamor) jika dibanding dengan ketek satu setengah maupun dobel. Meski, ketika turun lomba perkutut engkel itu terbukti burung kampiun peraih tropi kejuaraan.

Paling aman, ikuti tren pasar tanpa meninggalkan standardisasi apreasiasi baku. Terlebih jika kongmania telah bertaruh investasi dan menjadikan perkutut sebagai bagian dari ajang bisnis.

Kecuali, Anda penggemar perkutut klangenan sejati. Yakni, penggemar perkutut dengan keyakinan maton, bahwa irama perkutut terbaik adalah perkutut yang berhasil membuat Anda orgasme ketika mendengarkannya! (Andi Casiyem Sudin/bersambung)

BURSA & KONSULTASI PERKUTUT CALL HP 081 335 596 811

Penilaian Irama Perkutut Tidak Berlaku Surut

Tata cara lomba dan penjurian burung perkutut yang dikeluarkan Persatuan Pelestari Perkutut Indonesia (P3SI) menyebut, pakem (standardisasi) irama perkurut harus memenuhi unsur senggang, lenggang elok dan indah.

Senggang artinya irama perkutut itu memiliki intonasi, atau jeda relatif senjang. Tidak rapat (nrithik), tidak tergesa-gesa (ngosrog). Istilah kongmania kata senggang ini sering disebut dengan istilah “mad” atau “laras”. “Kita (kongmania, red) sering menyebutnya dengan kata lelah,” ujar Saiful, juri bersertifikat nasional asal Kediri.

Pendekatan arbiter yang lebih pahami umum, barangkali adalah mendayu-dayu.

Kriteria lain yang harus dimiliki pada kualitas irama perkutut adalah lenggang. Padan kata dari lenggang adalah bernada melankolis dan ritmis. Atau juga bernuansa romantis.
Akan lebih bernilai tinggi, jika kualitas lenggang ini berunsur spesifik. Atau dalam bahasa kongmania, berunsur “nyele”. Maknanya berbeda dengan yang lain.

Patut disepakati, apresiasi terhadap irama perkutut (irama alam) berbeda dengan aspresiasi tangga nada (notasi). Standardisasi irama perkutut bergantung pada cita rasa. Tidak maton (tidak baku) dan terus berkembang sesuai dengan temuan dan keberhasilan inovasi ternak dan segemen pasar perkutut itu sendiri.

Konsekekuansinya, sistem penialaian keindahan bunyi perkutut tidak berlaku surut (pengurangan) sebagaimana penilaian tangga nada lagu, tapi berjalan maju (penambahan).

”Di kongkurs burung perkutut, juri bukan mencari kesalahan bunyi burung, tapi mencari keindahan bunyi. Ditunggu, sampai perkutut itu mengeluarkan bunyi terbaiknya, baru kita nilai,” lanjut Saiful.

Data empiris, puncak apresiasi irama perkutut terus mengalami peningkatan, jika enggan menyebut perubahan, setiap kurun waktu. Di era kejayaan perkutut lokal, tahun 80-an ke bawah, penetrasi rasa kongmania terfokus pada alunan nada perkutut engkel atau genep (empat ketukan. Yakni kla..ke..tek..kung).

Pasalnya era tersebut masih didominasi perkutut jaringan atau undhuhan (mengambil anakan burung) dari alam. Wirama (nada) Perkutut Bongkok hasil olah kandang, belum begitu dikenal.

Karena perkutut yang ada di alam hanya menyajikan bunyi engkel, orang pun lantas mencari puncak keindahan suara pada perkutut yang memiliki bunyi engkel.(bersambung)

BURSA PERKUTUT BEKUALITAS CALL 081 335 596 811

Selasa, 05 Januari 2010

Menghayati Suara “Senggakan” Perkutut Sebagai Anugrah

Nada “senggakan”, dalam terminologi seni gamelan atau karawitan, bermakna teriakan untuk membangkitkan kantuk. Karena konteksnya adalah seni, tentu, “senggakan” juga memiliki aturan. Tidak asal berteriak. Harus merunut atau seirama (laras) dengan nada. Muaranya, meski bermaksud menjagakan kantuk, teriakan itu tetap terdengar indah. Misalnya, yaee…yaee…yaee..haaa…ooooo.

Istilah senggakan juga dikenal akrab di blantika seni suara burung perkutut. Malah, “senggakan”, bisa jadi juru kunci pengungkit suara perkutut untuk mendapatkan nilai sempurna (45). Pendekatan lebih sederhana, “senggakan” nyaris serupa dengan arsenal pada ujung peluru kendali. Arsenal itulah yang mampu mencipta ledakan dahsyat dengan hasil sempurna.

Blantika seni suara butung perkutut juga mengenal kata senggakan. Tempatnya ada pada ujung suara (tengkung). Survei lapangan membuktikan, dewan juri serta merta bakal menancapkan bendera “koncer penthol” (bendera lima warna berujung bola pingpong), manakala mendapati perkutut memiliki senggakan.

Berbeda dengan senggakan nayaga pada pentas karawitan, senggakan pada ujung perkutut ini, berupa bunyi noklak (klaaa), sebanyak satu atau dua kali di antara tengkung. Misalnya, Klaaa …ke-tek-ke-tek…kong, kla…ke-tek-ke-tek…kong (setelah berbunyi stabil begitu, kemudian di tengah-tengahnya muncul bunyi) Kla…ke-tek-ke-tek..klaa, selanjutnya kembali lagi ke bunyi standar awal, Kla…ke-tek-ke-tek…kong.

Berani bertaruh, jika Anda memiliki perkutut dengan suara senggakan seperti itu, burung Anda dipastikan bakal mengantongi nilai sempurna di kolom penilaian irama. Sebab, kualitas irama perkutut itu, tak hanya lenggang dan senggang. Tapi juga mengandung unsur elok.

Elok dalam irama perkutut bermakna, merdu dan indah. Tidak blero atau fals, rata dan laras. Keindahan irama akan terdengar lebih sempurna jika diselingi suara senggakkan.

Sayangnya, mencetak burung kampiun yang memiliki suara senggakan terbukti tidak gampang. Sepanjang sejarah konkurs perkutut, tidak setiap musim lomba muncul burung jawara yang memiliki suara senggakan.

Di even puncak apresiasi perkutut nasional berlebel Hamengkubuwono Cup atau Piala Raja, misalnya, tidak setiap tahun muncul burung jawara bersuara senggakan. Kecuali, barangkali, saat masa kejayaan Misteri Bahari, di paroh tahun 90-an.

Sejumlah pakat perkutut, cenderung geleng-geleng kepala jika sudah diajak bicara soal bunyi senggakan. Pasalnya, bunyi senggakan ini cenderung muncul secara natural dan spontan.”Saya kita factor X lebih dominan, jika bicara soal suara senggakan burung perkutut,” ungkap Lamidi, Ketua Departemen Penjurian P2SI Korwil Jatim, Senin (28/12).

Data empiris menunjukkan, tidak semua perkuktut jawara mampu meletupkan suara senggakan. Yang lebih sulit lagi, burung bersuara senggakan, juga tidak setiap bunyi mengeluarkan senggakan. “Sepertinya bunyi senggakan perkutut dalam lomba sama dengan hoky. Atau anugrah. Sebab, burung itu bisa menyalip di tikungan,” lanjut Lamidi.

Yang dimaksud menyalip di tikungan dalam lomba perkutut adalah menyalip nilai tertinggi pada saat-sat kritis. Atau pada saat penentuan kejuaraan.(bersambung) andi casiyem sudin)

Unsur ‘Miji-Miji” Dalam Irama Perkutut

Hobi memang unik. Seunik perbandingan kepuasan rasa dengan nilai objek habi itu sendiri. Karena, puncak apresiasi hobi bermuara pada rasa, maka posisi “ego” sangat dominan. Begitupun, hobi burung perkutut. Yakinlah, orang di luar kongmania (komunitas penghobi berat burung perkutut), bakal geleng kepala jika diajak bicara soal dunia satwa bernilai spesifik ini.

Sekadar, mengingatkan, acuan dasar Tata Cara Konkrus dan Penjuarian produk P3SI, nilai dalam konkurs burung perkutut adalah pernyataan perbandingan keindahan suara yang diwujudkan dalam angka-angka tertentu.

Penilaian keindahan suara dalam konkurs itu sendiri dirinci ke dalam lima (5) sasaran penilaian. Yakni : a) Suara depan, dengan kriteria panjang, membat (mengayun) bersih. b) Suara tengah, dengan kriteria bertekanan, lengkap dan jelas. c). Suara ujung dengan kriteria bulat, panjang dan b. d). Irama dengan kriteria senggang, lenggang, elok dan indah. e). Dasar suara atau kualitas suara dengan kriteria tebal, kering, bersih dan jernih.

Ulasan soal angkatan, suara tengah (ketek) dan ujung (tengkung), sudah diluncurkan secara bersambung. Sekarang, sampai pada pemahaman tentang irama atau lagu.

Dalam konteks apresiasi seni suara burung perkutut, irama menduduki posisi puncak. Sebab, acuan dasar penilaian kualitas irama perkutut, merupakan kompilasi dari keseluruhan kualitas rangkaian suara. Yakni, suara angkatan, tengah (ketek), ujung (tengkung), dan terakhir dasar suara atau kwalitas suara.

P3SI memberi pakem penilaian irama perkutut ini dengan kriteria senggang, lenggang, elok dan indah. Senggang dalam dunia perkutut sering disebut “miji-miji”. Istilah ini lebih merujuk pada kwalitas suara tengah yang musti bertekanan, lengkap dan jelas.

Istilah “miji-miji” juga terkait erat dengan intonasi atau jeda. “Mengukur intonasi suara tengah, yang paling gampang ya dengan ketukan,” ungkap Kunto Wijoyo, juru perkutut asal Klaten, Jawa Tengah.

Seperti kebanyakan juri lain, Kunto lebih sepakat mengukur intonasi bunyi perkutut yang disebut “miji-miji”, maksimal dua ketukan dalam satu detik. Jika intonasi yang terbentuk lebih rapat, istilah yang dipakai bukan lagi “miji-miji” tapi “nyeret”. Dan itu akan menjadikan irama burung jadi kurang nyaman untuk didengarkan.

Terdapat perbedaan mendasar antara apresiasi burung perkutut dengan burung acehan. Mengukur kwalitas suara burung ocehan, kriterianya justru harus kasar dengan intonasi yang cepat dan tegas. Takaran kwalitas irama perkutut justru sebaliknya. Harus senggang atau “miji-miji”.

Diakui, itu pula yang menjadi alasan paling mendasar, kenapa penggemar burung perkutut (anggungan), enggan untuk turun ke dunia hobi burung acehan. Begitu pula sebaliknya. Ibarat musik, suara burung perkutut masuk ke jenis musik klasik, sedangkan acehan laiknya musik pop atau rock.

Selain senggang, kreteria irama atau lagu burung perkutut harus lenggang. Padan kata lenggang adalah merdu. Atau di kalangan kongmania lebih sering dikatakan dengan istilah “lelah”. Pertanyaannya, bagaimana sosok suara perkutut yang disebut “lelah” itu? (bersambung) andi casiyem sudin.

Tren Ujung Perkutut 2010 Masih Berkiblat ke Bangkok

Muhammad Yosep alias Yusuf Klantan, dalam berbincangan telepon, mengatakan, dia tengah bongkar pasang materi kandang untuk mencetak anakan perkutut berujung panjang. Importir perkutut asal Kelantan Malaysia itu, memprediksi, tren suara perkutut 2010 bakal didominasi ujung panjang dengan volume besar, bulat dan kristal.

“Kalau tren suara angkatan dan tengah, saya kira tidak begitu banyak perubahan,” ujarnya, Senin (14/12). Padahal, mayoritas peternak mengakui, tidak gampang mencetak ujung panjang. Kalau menjetak anakan perkutut dengan angkatan dan ketek berkualitas, relatif mudah.

Importir perkutut yang kini bermukim di Tulungagung itu pun lantas mencoba memformat materi indukan dari Bangkok Selatan dengan produk nasional. Sejauh ini, perkkutut impor asal Bangkok Selatan, dikenal bersuata besar dan berujung panjang. Sedangkan keunggulan produk lokal berada di suara angkatan, tengah dan irama.

Yang jadi pertanyaan, sepanjang apa ujung yang bakal jadi tren perkutut 2010? Teka-teki ini, diakui, kini menghantui peternak papan atas dalam negeri. Sebab, untuk mencetak perkkutut jawara beujung panjang, serupa “Aljazair”. perkutut jawara milik Tim Terminal Perkutut, Surabaya dan “Jamaica” milik Hendri S, Tasikmalaya, sulitnya bukan kepalang.

Dua perkutut yang bertengger di urutan atas LPI 2009 itupun, ternyata burung import, produk peternak Bangkok. Bukan produk dalam negeri. Maknanya, kongmania negeri tercinta ini, terbukti masih berkiblat ke negeri jiran.

Padahal, merunut muasal perkutut, orang dengan ringan bakal ngomong, habitat murni burung klangenan itu berasal dari Indonesia. Sejumlah sumber mengatakan, hubungan bilateral Majapahit dengan Negeri Campa, mengawali migrasi perkutut unggulan dari Tanah Jawa ke Thailand.

Sepakatlah, mustinya fenomena ini dijadikan acuan dasar inovasi kandang peternak dalam negeri. Terus menerus berkiblat ke Bangkok, sama halnya mengesampingkan produk dalam negeri. Pertanyaan lanjut, sampai kapan, kongmania negeri tercinta bangga dengan produk mancanegara?

Terlepas dilemma itu, langkah yang dilakukan Yusuf, boleh dibilang langkah maju.Setidaknya, jika acuan dasarnya, terfokus pada menggali matari kelokalan untuk disempurnakan dengan materi manca negara. Lalu, sekali lagi, sepanjang apa ujung yang didambakan?

Sejumlah pakar perkutut saat ditanya soal ini, dengan ringan menjawab, minimal sepanjang ujung “Aljazair” dan “Jamaica”. Pakar perkutut dari Surabaya, Lamidi, menengarai dengan tiga hingga empat tekukan jari tangan. Jika demikian itu yang terjadi, berarti tren ujung perkutut jawara 2010 bakal tembus empat hingga lima tekukan jari tangan.

Maknanya, kiblat tren ujung perkutut 2010, masih belum bergeser dari Bangkok Selatan. Makna lain, terbukti peternak dalam negeri belum mampu mengembalikan simbol lelaki sejati ini, ke negeri sendiri.(bersambung) andi casiyem sudin

Ini Dia Burung Perkutut Bernilai Miliaran



Komunitas di luar pecinta burung perkutut, yakinlah, bakal berdecak kagum dan geleng kepala mendengar ini. Seekor perkutut jawara nasional, peraih point LPI (Liga Perkutut Indonesia) tertinggi, bandrolnya ternyata tak hanya jutaan tapi tembus miliaran rupiah.

Hasil penelusuran www.lawupos.net, burung perkutut jawara nasional pertama yang dibandrol miliaran rupiah adalah Susi Susanti. Perkutut jawaran di era tahun 80-an, milik H. Muhammad, Surabaya ini pernah dibandrol Rp 0,75 miliar (Rp 750 juta). Bergelang GM, Susi Susanti sempat merajai konkurs perkutut dalam negeri hingga empat tahun berturut-turut.

Perkutut jawara nasional lain yang dibandrol selangit adalah Misteri Bahari. Perkutut milik John Suwandi, Cirebon, Jawa Barat ini, moncer di era tahun 90-an. Perkutut non ring, dengan karakter suara dobel berujung panjang ini, di masa kejayaannya, sempat ditawarkan Rp 1 miliar. Oleh, A Lung, peternak perkutut berlebel Kopa Surabaya, perkutut ini ditawar Rp 600 juta. Tapi John, hanya tersenyum. Belakangan, Misteri Bahari diternak dan anakannya (piyikan atau bakalan) dibandrol antara Rp 30 juta – Rp 50 juta).

Masih di era 90-an akhir, kembali muncul perkutut jawara dengan bandrol selangit. Rating itu dimiliki Meteor, perkutut milik Tim Terminal Surabaya. Bertipe bunyi dobel, dobel ples, besar dan berujung panjang, Meteor dimasa jayanya dibandrol 1,5 miliar. Dan lagi-lagi tawaran di bawah Rp 1 M ditampik pemilik. Tim Selancar pilih Meteor masuk kandang. Anak Meteor juga dibandrol selangit. Sekitar Rp 40 – Rp 75 juta.

Masuk era 2000-an, perkutut jawara nasional peraih point tertinggi LPI, yang dibandrol miliaran, jumlahnya kian bertambah. Tim Terminal Surabaya, kembali pecahkan rekor sebagai pemilik perkutut jawara. Salah satunya, perkutut yang diberi nama Aljazair. Burung bergelang MLT asal Bangkok ini, dibandrol Rp 1,7 miliar.

Selain Aljazair, muncul pula Jamaika, perkutut milik Hendy, peternak WAT Tasik Malaya, kemudian Jamela H. Zainuri Hasyim, Bandung, serta Edy Yusuf dengan beberapa perkutut yang terkenal dengan nama belakang Raja. Seperti Mustika Raja, Pusaka Raja dan Tombak Raja. Deretan nama perkutut jawara itu, rata-rata dibandrol Rp 1 miliar lebih.(elpos)