Selasa, 05 Januari 2010

Menghayati Suara “Senggakan” Perkutut Sebagai Anugrah

Nada “senggakan”, dalam terminologi seni gamelan atau karawitan, bermakna teriakan untuk membangkitkan kantuk. Karena konteksnya adalah seni, tentu, “senggakan” juga memiliki aturan. Tidak asal berteriak. Harus merunut atau seirama (laras) dengan nada. Muaranya, meski bermaksud menjagakan kantuk, teriakan itu tetap terdengar indah. Misalnya, yaee…yaee…yaee..haaa…ooooo.

Istilah senggakan juga dikenal akrab di blantika seni suara burung perkutut. Malah, “senggakan”, bisa jadi juru kunci pengungkit suara perkutut untuk mendapatkan nilai sempurna (45). Pendekatan lebih sederhana, “senggakan” nyaris serupa dengan arsenal pada ujung peluru kendali. Arsenal itulah yang mampu mencipta ledakan dahsyat dengan hasil sempurna.

Blantika seni suara butung perkutut juga mengenal kata senggakan. Tempatnya ada pada ujung suara (tengkung). Survei lapangan membuktikan, dewan juri serta merta bakal menancapkan bendera “koncer penthol” (bendera lima warna berujung bola pingpong), manakala mendapati perkutut memiliki senggakan.

Berbeda dengan senggakan nayaga pada pentas karawitan, senggakan pada ujung perkutut ini, berupa bunyi noklak (klaaa), sebanyak satu atau dua kali di antara tengkung. Misalnya, Klaaa …ke-tek-ke-tek…kong, kla…ke-tek-ke-tek…kong (setelah berbunyi stabil begitu, kemudian di tengah-tengahnya muncul bunyi) Kla…ke-tek-ke-tek..klaa, selanjutnya kembali lagi ke bunyi standar awal, Kla…ke-tek-ke-tek…kong.

Berani bertaruh, jika Anda memiliki perkutut dengan suara senggakan seperti itu, burung Anda dipastikan bakal mengantongi nilai sempurna di kolom penilaian irama. Sebab, kualitas irama perkutut itu, tak hanya lenggang dan senggang. Tapi juga mengandung unsur elok.

Elok dalam irama perkutut bermakna, merdu dan indah. Tidak blero atau fals, rata dan laras. Keindahan irama akan terdengar lebih sempurna jika diselingi suara senggakkan.

Sayangnya, mencetak burung kampiun yang memiliki suara senggakan terbukti tidak gampang. Sepanjang sejarah konkurs perkutut, tidak setiap musim lomba muncul burung jawara yang memiliki suara senggakan.

Di even puncak apresiasi perkutut nasional berlebel Hamengkubuwono Cup atau Piala Raja, misalnya, tidak setiap tahun muncul burung jawara bersuara senggakan. Kecuali, barangkali, saat masa kejayaan Misteri Bahari, di paroh tahun 90-an.

Sejumlah pakat perkutut, cenderung geleng-geleng kepala jika sudah diajak bicara soal bunyi senggakan. Pasalnya, bunyi senggakan ini cenderung muncul secara natural dan spontan.”Saya kita factor X lebih dominan, jika bicara soal suara senggakan burung perkutut,” ungkap Lamidi, Ketua Departemen Penjurian P2SI Korwil Jatim, Senin (28/12).

Data empiris menunjukkan, tidak semua perkuktut jawara mampu meletupkan suara senggakan. Yang lebih sulit lagi, burung bersuara senggakan, juga tidak setiap bunyi mengeluarkan senggakan. “Sepertinya bunyi senggakan perkutut dalam lomba sama dengan hoky. Atau anugrah. Sebab, burung itu bisa menyalip di tikungan,” lanjut Lamidi.

Yang dimaksud menyalip di tikungan dalam lomba perkutut adalah menyalip nilai tertinggi pada saat-sat kritis. Atau pada saat penentuan kejuaraan.(bersambung) andi casiyem sudin)

Unsur ‘Miji-Miji” Dalam Irama Perkutut

Hobi memang unik. Seunik perbandingan kepuasan rasa dengan nilai objek habi itu sendiri. Karena, puncak apresiasi hobi bermuara pada rasa, maka posisi “ego” sangat dominan. Begitupun, hobi burung perkutut. Yakinlah, orang di luar kongmania (komunitas penghobi berat burung perkutut), bakal geleng kepala jika diajak bicara soal dunia satwa bernilai spesifik ini.

Sekadar, mengingatkan, acuan dasar Tata Cara Konkrus dan Penjuarian produk P3SI, nilai dalam konkurs burung perkutut adalah pernyataan perbandingan keindahan suara yang diwujudkan dalam angka-angka tertentu.

Penilaian keindahan suara dalam konkurs itu sendiri dirinci ke dalam lima (5) sasaran penilaian. Yakni : a) Suara depan, dengan kriteria panjang, membat (mengayun) bersih. b) Suara tengah, dengan kriteria bertekanan, lengkap dan jelas. c). Suara ujung dengan kriteria bulat, panjang dan b. d). Irama dengan kriteria senggang, lenggang, elok dan indah. e). Dasar suara atau kualitas suara dengan kriteria tebal, kering, bersih dan jernih.

Ulasan soal angkatan, suara tengah (ketek) dan ujung (tengkung), sudah diluncurkan secara bersambung. Sekarang, sampai pada pemahaman tentang irama atau lagu.

Dalam konteks apresiasi seni suara burung perkutut, irama menduduki posisi puncak. Sebab, acuan dasar penilaian kualitas irama perkutut, merupakan kompilasi dari keseluruhan kualitas rangkaian suara. Yakni, suara angkatan, tengah (ketek), ujung (tengkung), dan terakhir dasar suara atau kwalitas suara.

P3SI memberi pakem penilaian irama perkutut ini dengan kriteria senggang, lenggang, elok dan indah. Senggang dalam dunia perkutut sering disebut “miji-miji”. Istilah ini lebih merujuk pada kwalitas suara tengah yang musti bertekanan, lengkap dan jelas.

Istilah “miji-miji” juga terkait erat dengan intonasi atau jeda. “Mengukur intonasi suara tengah, yang paling gampang ya dengan ketukan,” ungkap Kunto Wijoyo, juru perkutut asal Klaten, Jawa Tengah.

Seperti kebanyakan juri lain, Kunto lebih sepakat mengukur intonasi bunyi perkutut yang disebut “miji-miji”, maksimal dua ketukan dalam satu detik. Jika intonasi yang terbentuk lebih rapat, istilah yang dipakai bukan lagi “miji-miji” tapi “nyeret”. Dan itu akan menjadikan irama burung jadi kurang nyaman untuk didengarkan.

Terdapat perbedaan mendasar antara apresiasi burung perkutut dengan burung acehan. Mengukur kwalitas suara burung ocehan, kriterianya justru harus kasar dengan intonasi yang cepat dan tegas. Takaran kwalitas irama perkutut justru sebaliknya. Harus senggang atau “miji-miji”.

Diakui, itu pula yang menjadi alasan paling mendasar, kenapa penggemar burung perkutut (anggungan), enggan untuk turun ke dunia hobi burung acehan. Begitu pula sebaliknya. Ibarat musik, suara burung perkutut masuk ke jenis musik klasik, sedangkan acehan laiknya musik pop atau rock.

Selain senggang, kreteria irama atau lagu burung perkutut harus lenggang. Padan kata lenggang adalah merdu. Atau di kalangan kongmania lebih sering dikatakan dengan istilah “lelah”. Pertanyaannya, bagaimana sosok suara perkutut yang disebut “lelah” itu? (bersambung) andi casiyem sudin.

Tren Ujung Perkutut 2010 Masih Berkiblat ke Bangkok

Muhammad Yosep alias Yusuf Klantan, dalam berbincangan telepon, mengatakan, dia tengah bongkar pasang materi kandang untuk mencetak anakan perkutut berujung panjang. Importir perkutut asal Kelantan Malaysia itu, memprediksi, tren suara perkutut 2010 bakal didominasi ujung panjang dengan volume besar, bulat dan kristal.

“Kalau tren suara angkatan dan tengah, saya kira tidak begitu banyak perubahan,” ujarnya, Senin (14/12). Padahal, mayoritas peternak mengakui, tidak gampang mencetak ujung panjang. Kalau menjetak anakan perkutut dengan angkatan dan ketek berkualitas, relatif mudah.

Importir perkutut yang kini bermukim di Tulungagung itu pun lantas mencoba memformat materi indukan dari Bangkok Selatan dengan produk nasional. Sejauh ini, perkkutut impor asal Bangkok Selatan, dikenal bersuata besar dan berujung panjang. Sedangkan keunggulan produk lokal berada di suara angkatan, tengah dan irama.

Yang jadi pertanyaan, sepanjang apa ujung yang bakal jadi tren perkutut 2010? Teka-teki ini, diakui, kini menghantui peternak papan atas dalam negeri. Sebab, untuk mencetak perkkutut jawara beujung panjang, serupa “Aljazair”. perkutut jawara milik Tim Terminal Perkutut, Surabaya dan “Jamaica” milik Hendri S, Tasikmalaya, sulitnya bukan kepalang.

Dua perkutut yang bertengger di urutan atas LPI 2009 itupun, ternyata burung import, produk peternak Bangkok. Bukan produk dalam negeri. Maknanya, kongmania negeri tercinta ini, terbukti masih berkiblat ke negeri jiran.

Padahal, merunut muasal perkutut, orang dengan ringan bakal ngomong, habitat murni burung klangenan itu berasal dari Indonesia. Sejumlah sumber mengatakan, hubungan bilateral Majapahit dengan Negeri Campa, mengawali migrasi perkutut unggulan dari Tanah Jawa ke Thailand.

Sepakatlah, mustinya fenomena ini dijadikan acuan dasar inovasi kandang peternak dalam negeri. Terus menerus berkiblat ke Bangkok, sama halnya mengesampingkan produk dalam negeri. Pertanyaan lanjut, sampai kapan, kongmania negeri tercinta bangga dengan produk mancanegara?

Terlepas dilemma itu, langkah yang dilakukan Yusuf, boleh dibilang langkah maju.Setidaknya, jika acuan dasarnya, terfokus pada menggali matari kelokalan untuk disempurnakan dengan materi manca negara. Lalu, sekali lagi, sepanjang apa ujung yang didambakan?

Sejumlah pakar perkutut saat ditanya soal ini, dengan ringan menjawab, minimal sepanjang ujung “Aljazair” dan “Jamaica”. Pakar perkutut dari Surabaya, Lamidi, menengarai dengan tiga hingga empat tekukan jari tangan. Jika demikian itu yang terjadi, berarti tren ujung perkutut jawara 2010 bakal tembus empat hingga lima tekukan jari tangan.

Maknanya, kiblat tren ujung perkutut 2010, masih belum bergeser dari Bangkok Selatan. Makna lain, terbukti peternak dalam negeri belum mampu mengembalikan simbol lelaki sejati ini, ke negeri sendiri.(bersambung) andi casiyem sudin

Ini Dia Burung Perkutut Bernilai Miliaran



Komunitas di luar pecinta burung perkutut, yakinlah, bakal berdecak kagum dan geleng kepala mendengar ini. Seekor perkutut jawara nasional, peraih point LPI (Liga Perkutut Indonesia) tertinggi, bandrolnya ternyata tak hanya jutaan tapi tembus miliaran rupiah.

Hasil penelusuran www.lawupos.net, burung perkutut jawara nasional pertama yang dibandrol miliaran rupiah adalah Susi Susanti. Perkutut jawaran di era tahun 80-an, milik H. Muhammad, Surabaya ini pernah dibandrol Rp 0,75 miliar (Rp 750 juta). Bergelang GM, Susi Susanti sempat merajai konkurs perkutut dalam negeri hingga empat tahun berturut-turut.

Perkutut jawara nasional lain yang dibandrol selangit adalah Misteri Bahari. Perkutut milik John Suwandi, Cirebon, Jawa Barat ini, moncer di era tahun 90-an. Perkutut non ring, dengan karakter suara dobel berujung panjang ini, di masa kejayaannya, sempat ditawarkan Rp 1 miliar. Oleh, A Lung, peternak perkutut berlebel Kopa Surabaya, perkutut ini ditawar Rp 600 juta. Tapi John, hanya tersenyum. Belakangan, Misteri Bahari diternak dan anakannya (piyikan atau bakalan) dibandrol antara Rp 30 juta – Rp 50 juta).

Masih di era 90-an akhir, kembali muncul perkutut jawara dengan bandrol selangit. Rating itu dimiliki Meteor, perkutut milik Tim Terminal Surabaya. Bertipe bunyi dobel, dobel ples, besar dan berujung panjang, Meteor dimasa jayanya dibandrol 1,5 miliar. Dan lagi-lagi tawaran di bawah Rp 1 M ditampik pemilik. Tim Selancar pilih Meteor masuk kandang. Anak Meteor juga dibandrol selangit. Sekitar Rp 40 – Rp 75 juta.

Masuk era 2000-an, perkutut jawara nasional peraih point tertinggi LPI, yang dibandrol miliaran, jumlahnya kian bertambah. Tim Terminal Surabaya, kembali pecahkan rekor sebagai pemilik perkutut jawara. Salah satunya, perkutut yang diberi nama Aljazair. Burung bergelang MLT asal Bangkok ini, dibandrol Rp 1,7 miliar.

Selain Aljazair, muncul pula Jamaika, perkutut milik Hendy, peternak WAT Tasik Malaya, kemudian Jamela H. Zainuri Hasyim, Bandung, serta Edy Yusuf dengan beberapa perkutut yang terkenal dengan nama belakang Raja. Seperti Mustika Raja, Pusaka Raja dan Tombak Raja. Deretan nama perkutut jawara itu, rata-rata dibandrol Rp 1 miliar lebih.(elpos)