Senin, 25 Oktober 2010

Penghasilan 5 Juta Perbulan Itu Didapat Dari Ternak Kutut Kropyok

Siapa setia pelihara yang kecil, dia akan dibesarkan. Siapa bermimpi raih kebesaran, dia akan dikerdilkan. Itu kiat jitu peternak perkutut kropyok (kelas ekonomi). Pepatah bilang, sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.

Fajar, warga Saradan Madiun telah membuktikan. Dengan aset 100 pasang indukan, tiap bulan, lelaki ini bisa maraup penghasilan Rp 2 juta bersih. Besaran penghasilan lumayan besar untuk takaran peternak kecil yang hidup di pinggiran hutan Saradan.

Penghasilan itu masih ditambah dengan rejeki tiban (rejeki tak terduka). Yakni, manakala dari kandang ternaknya itu muncul piyik perkutut dengan kualitas bagus. Ini mengingat tidak semua materi indukan yang dimiliki berkualitas kropyok. Terdapat beberapa pasang indukan trah burung kampiun. Meski, Fajar sendiri mengaku materi indukan itu dibeli dengan harga kualitas kropyok.

“Sejak buka kandang saya memang berniat ternak kutut kropyok. Tidak terlalu pusing. Asal bisa telur, netas, jadilah duwit. Tidak perlu pusing-pusing pantau ita-itu,” ujarnya.

Sutrisno, warga Munggut, Kabupaten Madiun, lebih-lebih. Begitu berminat ternak perkutut kroyok, dia langsung buka ratusan kandang. Dalam beberapa tahap, kini kandang ternaknya mencapai 450 pasang perkutut.

Tentu, penghasilan rutin bulanan yang didapat pun lebih tinggi. Sekali panen, karyawan PDAM Kabupaten Madiun itu sediktinya bisa mengantongi keuntungan bersih Rp 5 juta.

Perhitungan acaknya, dari 450 pasang indukan, sebulan bisa keluarkan piyik 250 ekor. Satu ekor piyik kropyok dijual seharga Rp 20 ribu. Totalnya, 250 X Rp 20 sama dengan Rp 5 juta.

Untuk biaya perawatan dan gaji seorang perawat, cukup diambilkan dari hasil penjualan piyikan perkutut kualitas sedang secara eceran. Sebab, Sutrisno juga menyelipkan materi indukan berkualitas di antara kandang ternak perkutut kroyoknya itu.

ang sebesar itu, boleh dibilang datang sendiri. Seorang pengepul dari Yogyakarta, saban bulan setia mengambil produksinya. Kalau tidak dari Yogyakarta, sejumlah pedagang burung lokal juga rutin kulakan.

Seperti Fajar, Sutrisno mengaku terjun ke ternak perkutut murni bisnis. “Saya sebenarnya tidak begitu paham perkutut. Makanya yang saya geluti ternak perkutut kropyok,” katanya.

Lantaran, pilihan segmen pasarnya di level bawah, kontruksi kandangnya pun dipilih kontruksi kandang tumpuk. Dengan ukuran mungil. Yakni, panjang 50 cm, tinggi tinggi 50 cm dan lebar 45 cm. Serupa sangkar burung ocehan.

Kandang pembiakan itu dibuat berjejer, dan dipasang di tembok dengan sistem bertingkat-tingkat. Untuk menu pakannya, digunakan campuran foor ayam dan sedikit millet.

Dengan inovasi paling pragmatis kayak gitu, terbukti Sutrisno rauop penghasilan tambahan sekitar Rp 5 juta per bulan.

BURSA & KONSULTASI PERKUTUT CALL HP 081 335 596 811

Inova Alla Star Berjaya di Laga Perkutut

Inova All Star (IAS), perkutut hasil inovasi kandang Inova Bird Farm Madiun, kian berpamor. Dalam lomba burung perkutut bertajuk Madiun Cup I /2010, si lurik manis debutan Andi Cs itu mampu bertengger di tiga besar, bersaing ketat dengan Naga Surya, milik Yong Bledek, Nganjuk dan Adinda milik Ir. Sudirman Madiun.

Sejak babak pertama dihelat, perseteruan tiga perkutut kampiun di kelas senior itu, cukup heboh. Inova All Star (IAS) yang bertengger di gantangan 43, langsung mengumpulkan poin tertinggi. Bahkan di babak pembuka ini, IAS sempat mengungguli Adinda dan Naga Surya.

Persaingan tiga perkutut kampiun di kelas senior ini terus berlanjut hingga turun minum. Inova All Star dengan suara khas dobel, besar dan berujung panjang itu memimpin di dua babak pendahulu.

Bahkan kepiawaian Inova All Star dalam memimpin babak pembuka itu, menghipnotis penggemar dari Malang. Di sela perhelatan kongmania, IAS sempat dirayu dengan tawaran menggiurkan. Yakni, Rp 25 juta. Namun, sang pemilik, tampaknya belum tertarik dengan tawaran itu.

Masuk babak ketiga, selepas turun minum, Naga Surya mendadak mengeluarkan suara tembakan tengah ngocak dan tengkung panjang meruncing. Bak menyalip di tikungan, perkutut milik Ayong Bledek, Nganjuk itu, tembus poin tertinggi.

Perolehan angka tertinggi di babak ketiga ini, terbukti mampu membabtiskan NS pada posisi teratas di kelas senior.

Persaingan semakin tajam di babak keempat. Posisi gantangan Ias yang berada dipinggir, mulai ungkit masalah. Teriakan peserta, menjadikan Ias ngelabrak dan putar-putar. Dampaknya, Ia tak mampu keluarkan suara emasnya di babak penentu. Kalah tipis dibanding Adinda, yang terus bertahan di posisi runner up.

Gelaran Madiun Cup I/2010 itu sendiri berjalan mulus. Sebanyak 170 peserta dari Madiun, Ngawi, Ponorogo, Kediri, Nganjuk, Magetan dan Surabaya, ikut ambil bagian.”Sebagai acuan barometer kualitas apresiasi perkutut, lomba kali ini bisa dibilang bagus. Persertanya membludag, “ ujar Handoko, ketua panitia lomba.

Lomba yang dihelat di pusat latihan perkutut P3SI Korda Madiun, Komplek Stadion Wilis itu menghelat tiga kelas. Yakni, Senior, Yunior dan Kelas Piyik Hanging. Keluar sebagai juara keempat, setelah Naga Surya, Adinda dan Inova All Star, perkutut milik Danang, Ponorogo.

Sedangkan posisi lima hingga sepuluh besar, masing-masing diraih, Gladiator (Sudirman, Madiun), Melodiku (Sutrisno, Kediri), Anonim (Hadi, Magetan), Joyo, Mukandar, Ponorogo) Ruyung (Yong Bledek, Nganjuk) dan Satria (H. Parmin, Ponorogo).

Inova Bird Farm Call HP 081 335 596 811

Ikon Irama Perkutut Sering Terjebak Trend Pasar

Kegagalan kongmania dalam mengapresiasi irama perkutut, lebih dikarenakan pemahaman parsial terhadap suara perkutut itu sendiri. Penyebab lain, lantaran terjebak permintaan dan persaingan pasar bebas.

Demikian data empiris yang berhasil diperoleh penulis. Indikasinya, kongmania kerap hanya fokus pada bunyi suara tengah (ketek) jika mencermati irama perkutut. Padahal, irama perkutut tercipta dari kompilasi bunyi angkatan (suara depan), ketek (suara tengah), tengkung (ujung) dan dasar suara.

“Kenapa sampai terjadi begitu? Penyebabnya, karena perubahan tren pasar,” ujar Suhendro, pakar perkutut asal Kediri.

Pemilik :Gotong Royong”, burung kampiun senilai setengah miliar itu mencontohkan,. saat ini, ketika tren pasar terhipnotis suara ketek perkutut dobel dan dobel plus, kongmania lantas beranggapan, irama burung terbagus saat ini tercipta dari suara tengah dobel dan dobel plus.”Padahal tidak semua perkutut dengan ketek dobel itu berirama bagus. Banyak perkutut engkel dan satu setengah berirama bagus. Bahkan lebih bagus dari dobel dan dobel plus,” lanjutnya.

Tapi diakui, kekeliruan salah kaprah dalam pemahaman irama burung perkutut ini, praktis jadi fenomena klasik di tengah perburuan burung klangenan ini.

Boleh jadi, kelak ketika inovasi kandang berhasil menetaskan burung perkutut dengan ketek tripel atau tripel plus (lebih dari delapan – sembilan ketukan) irama perkutut bakal terjebak pada perkutut dengan ketek tripel atau tripel plus.

Masgulnya lagi, nilai-nilai materialistik, seperti permintaan pasar dan lebel harga dalam konteks apresiasi irama ini, terbukti mampu memporakporandakan nilai idealisme.

Fakta berbicara, perkutut dengan suara ketek engkel, sebagus apa pun iramanya, tetap asor (kalah saing dan pamor) jika dibanding dengan ketek satu setengah maupun dobel. Meski, ketika turun lomba perkutut engkel itu terbukti burung kampiun peraih tropi kejuaraan.

Paling aman, ikuti tren pasar tanpa meninggalkan standardisasi apreasiasi baku. Terlebih jika kongmania telah bertaruh investasi dan menjadikan perkutut sebagai bagian dari ajang bisnis.

Kecuali, Anda penggemar perkutut klangenan sejati. Yakni, penggemar perkutut dengan keyakinan maton, bahwa irama perkutut terbaik adalah perkutut yang berhasil membuat Anda orgasme ketika mendengarkannya! (Andi Casiyem Sudin/bersambung)

BURSA & KONSULTASI PERKUTUT CALL HP 081 335 596 811

Penilaian Irama Perkutut Tidak Berlaku Surut

Tata cara lomba dan penjurian burung perkutut yang dikeluarkan Persatuan Pelestari Perkutut Indonesia (P3SI) menyebut, pakem (standardisasi) irama perkurut harus memenuhi unsur senggang, lenggang elok dan indah.

Senggang artinya irama perkutut itu memiliki intonasi, atau jeda relatif senjang. Tidak rapat (nrithik), tidak tergesa-gesa (ngosrog). Istilah kongmania kata senggang ini sering disebut dengan istilah “mad” atau “laras”. “Kita (kongmania, red) sering menyebutnya dengan kata lelah,” ujar Saiful, juri bersertifikat nasional asal Kediri.

Pendekatan arbiter yang lebih pahami umum, barangkali adalah mendayu-dayu.

Kriteria lain yang harus dimiliki pada kualitas irama perkutut adalah lenggang. Padan kata dari lenggang adalah bernada melankolis dan ritmis. Atau juga bernuansa romantis.
Akan lebih bernilai tinggi, jika kualitas lenggang ini berunsur spesifik. Atau dalam bahasa kongmania, berunsur “nyele”. Maknanya berbeda dengan yang lain.

Patut disepakati, apresiasi terhadap irama perkutut (irama alam) berbeda dengan aspresiasi tangga nada (notasi). Standardisasi irama perkutut bergantung pada cita rasa. Tidak maton (tidak baku) dan terus berkembang sesuai dengan temuan dan keberhasilan inovasi ternak dan segemen pasar perkutut itu sendiri.

Konsekekuansinya, sistem penialaian keindahan bunyi perkutut tidak berlaku surut (pengurangan) sebagaimana penilaian tangga nada lagu, tapi berjalan maju (penambahan).

”Di kongkurs burung perkutut, juri bukan mencari kesalahan bunyi burung, tapi mencari keindahan bunyi. Ditunggu, sampai perkutut itu mengeluarkan bunyi terbaiknya, baru kita nilai,” lanjut Saiful.

Data empiris, puncak apresiasi irama perkutut terus mengalami peningkatan, jika enggan menyebut perubahan, setiap kurun waktu. Di era kejayaan perkutut lokal, tahun 80-an ke bawah, penetrasi rasa kongmania terfokus pada alunan nada perkutut engkel atau genep (empat ketukan. Yakni kla..ke..tek..kung).

Pasalnya era tersebut masih didominasi perkutut jaringan atau undhuhan (mengambil anakan burung) dari alam. Wirama (nada) Perkutut Bongkok hasil olah kandang, belum begitu dikenal.

Karena perkutut yang ada di alam hanya menyajikan bunyi engkel, orang pun lantas mencari puncak keindahan suara pada perkutut yang memiliki bunyi engkel.(bersambung)

BURSA PERKUTUT BEKUALITAS CALL 081 335 596 811